Showing posts with label Laos. Show all posts
Showing posts with label Laos. Show all posts

Friday, February 12, 2016

LIBURAN ROMANTIS KE LUANG PRABANG AJA


gambar sampul tulisan penulis yang dimuat majalah JalanJalan
Untuk mencapai Luang Prabang, kita bisa menggunakan moda bis. Di terminal Phonsavan terdapat bis menuju Luang Prabang bahkan ke Vietnam yang merupakan negara tetangga. Waktu tempuh dari Phonsavan menuju Luang Prabang sekitar delapan jam. Sesampainya di terminal Luang Prabang jangan mudah terpengaruh menggunaka tuk-tuk yang menawarkan penginapan karena bisa jadi lokasinya tidak strategis.

Carilah jalan Shisavangvong, jalan utama di kota ini. Diambil dari nama raja Laos dahulu. Di jalan ini banyak terdapat penginapan dan café pinggir jalan sehingga menciptakan atmosfir seperti di Perancis. Apalagi banyak sekali gedung sepanjang kiri-kanan jalan masih terlihat antik dan orisinil peninggalan kolonial Perancis. Tak heran bila banyak wisatawan Perancis datang menikmati romansa masa lalu.

Kehidupan malam hari di Luang Prabang selalu berdenyut, terlebih pasar malamnya. Para pedagang menggelar lapaknya di trotoar depan museum nasional bahkan meluber di tengah jalan. Sepanjang malam, Jalan Shisavangvong ditutup bagi seluruh kendaraan sejak pukul lima sore. Hanya pejalan kaki yang boleh melangkah. Seperti biasa, barang buruan wisatawan asing adalah kerajinan khas Laos yang banyak memiliki suku. Meski begitu, dibandingkan kota lain, harga di pasar malam ini sedikit lebih mahal.

Kehidupan di Luang Prabang dimulai pagi-pagi sekali ketika matahari pun belum menyembulkan wajahnya. Pukul 4 dini hari dipastikan ratusan orang baik penduduk lokal maupun wisatwan asing telah memadati jalanan, terutama di Shisavangvong Road. Saya pun termasuk di antaranya. Kegiatan ini dilakukan untuk mengikuti tradisi ritual pemberian sedekah pagi bagi para biksu.

sedekah pagi bagi biksu
Sedekah yang diberikan berupa nasi ketan plus makanan olahan kelapa.  Makanan ini diletakkan dalam keranjang dan biasanya dikombinasikan pula dengan buah-buahan dan kue. Sepaket keranjang makan dihargai senilai 23 ribu rupiah. Bila telah siap dengan keranjang makanan tadi, silahkan mengambil tempat duduk meleseh di pinggir jalan.

Saat matahari mulai muncul, barulah sekitar 700 biksu dari 32 wihara di Luang Prabang keluar menjalankan ritual sedekah pagi. Mereka berjalan serempak tanpa menggunakan alas kaki berkeliling kota. Saat memberikan sedekah pada biksu posisi duduk harus diperhatikan, tidak boleh lebih tinggi dari mereka. Nasi ketan kita berikan sekepal demi sekepal bagi biksu yang mengantri.

Ada kalanya, makanan yang diberikan setiap orang berlebih bagi dalam keranjang biksu bahkan tidak muat lagi. Anak-anak setempat yang bukan biksu akan selalu siap sedia menampung rezeki limpahan dari para biksu. Inilah falsafah sedekah pagi yang sangat luhur. Biksu pun tidak akan sarapan selain dari makanan yang diterima dalam sedekah pagi.
Luar biasa, ritual sedekah pagi menjelma menjadi objek wisata menarik bagi wisatawan asing.



Aktivitas sehari-hari biksu selalu dimulai usai sedekah pagi salah satunya berlangsung di wihara Wat Xien Mouane. Luang Prabang memang dikenal sebagai kota seribu wihara. Itu sebabnya bila ingin melihat pusat pendidikan dan budaya kunjungilah wihara.

Wihara Wat Xien Mouane berdiri sejak 130 tahun silam. Di sini digalakkan program penyelamatan budaya. Biksu-biksu cilik dididik akan seni lukis dan patung demi melestarikan tradisi Laos. UNESCO pun pernah terlibat program ini antara tahun 2000 hingga 2007.

Museum Nasional
Luang Prabang sendiri telah ditetapkan UNESCO sebagai kota warisan dunia, dan jangan heran apabila larangan merokok hadir di sana-sini baik di dalam maupun luar ruangan publik. Termasuk di antaraya, bangunan Museum Nasional. Bangunan ini dahulunya merupakan istana kerajaan. Dibangun tahun 1904 oleh Raja Shisavangvong. Gaya arsitekturnya campuran antara Laos klasik dengan Perancis.

Tahun 1975 monarki Kerajaan Laos dihabisi oleh Kaum Komunis. Sejak itulah sistem pemerintahan monarki berubah menjadi komunis. Keluarga kerajaan pun diusir dari istana yag kelak diubah menjadi Museum Nasional. Para pengunjung dilarang mendokumentasikan bagian dalam bangunan, baik foto maupun video. Alhasil pengunjung cukup puas menikmati kenang-kenangan dokumentasi bagian luar bangunan.

Bagi yang tertarik akan wisata alam, naiklah perahu sewaan yang akan membelah Sungai Mekong sepanjang 25 kilometer. Perahu akan penuh bila wisatawan genap 10 dan baru berangkat. Tujuan wisata menuju Goa Pak Ou. Goa ini terdiri dari bagian atas dan bawah. Di bagian atas akan didapati lukisan dalam goa yang uniknya ditemukan oleh bangsa Perancis abad ke 19 sewaktu melakukan ekspedisi Sungai Mekong.

Goa Pak Ou
Goa bagian bawah bentuknya lebih terbuka sehingga isinya dapat dilihat tanpa bantuan senter. Di sinilah kita akan mendapati ratusan patung Buddha dalam berbagai bentuk dan pose. Dahulu sekali goa ini digunakan untuk kepentingan spiritual. Bangsa China yang datang dari arah China Selatan abad ke delapan ke Laos,  mendiami Laos dan mengembangkan agama Buddha. Itu sebabnya, banyak sekali patung Buddha di goa Pak Ou. Bahkan konon menurut cerita warga setempat, dahulu setidaknya terdapat empat ribu patung yang lambat laun menghilang.


Laos, negeri kecil dengan peradaban besar yang menarik untuk dijelajahi.

Monday, December 1, 2014

PERANG RAHASIA PHONSAVAN LAOS

Jarang orang mengetahui adanya Perang Rahasia di Laos. Perang ini terjadi ketika Amerika menyerbu Vietnam. Disebut rahasia karena Amerika Serikat berperang secara rahasia dengan Laos. Meski korban yang jatuh bukan-lah rahasia lagi kebanyakan warga negara Laos.

Untuk mengetahui lebih dalam tentang Perang Rahasia, saya niatkan pergi menuju Kota Phonsavan, Provinsi Xieng Khouang. Jalan darat menggunakan bis dapat ditempuh selama 10 jam. Bis yang digunakan adalah ekonomi, sehingga terpaksa berpanas ria bersama penumpang lokal. Jarang sekali wisatawan asing yang datang ke Phonsavan, itu sebabnya bis bertarif 110 ribu Kipp atau sekitar 150 ribu rupiah ini sepi akan orang asing.

Penampakan bis ekonomi jurusan Vientiane-Phonsavan yang saya tumpangi (koleksi @ysdaya)


Perjalanan lumayan membosankan mengingat lagu yang diputar di dalam bis selalu lagu lokal yang artinya pun tidak dapat dimengerti. Untungnya pemandangan di kiri kanan jalan yang seperti di daerah puncak cukup memanjakan mata.
Satu hal yang agak menarik adalah banyak sekali penumpang yang naik di tengah jalan menyandang senapan angin. Tujuan mereka sama sekali tidak untuk menembak burung, melainkan keamanan. Hal ini saya ketahui dari kenek di belakang yang membawa senapan AK 47. Rupanya perjalanan sering kali dihadang bajing loncat atau kriminal jalanan. Untungnya perjalanan saya hingga sampai Phonsavan aman dari gangguan ini.

Kenek bus yang duduk di belakang bis menunjukkan senapan AK 47 (koleksi @ysdaya)


Saat tiba di kota Phonsavan, saya lumayan terkejut akan suhunya. Ternyata di bulan Februari, suhu Phonsavan sangatlah dingin bisa mencapai di bawah 10 derajat celcius di malam hari. Di siang hari pun memakai baju tiga lapis rasa dingin pun masih menusuk tulang. Winter comes to town!

Salah satu tujuan wisata adalalah Plain of Jars. Untuk menjangkaunya kita cukup menyewa motor dari hotel seharga 75 ribu rupiah sehari. Plain of Jar merupakan situs budaya kuno nenek moyang bangsa Laos. Untuk menempuhnya, kita harus melalui perkampungan penduduk tiga kilometer sebelum situs tersebut.

Perjalanan menuju lokasi Plain of Jars melewati pemandangan ini (koleksi @ysdaya)


Memasuki Plain of Jars peringatan bahaya bom terpampang jelas. Rupanya, di situs ini masih banyak pecahan bom yang belum dibersihkan sisa Perang Rahasia. Total bom yang dijatuhkan Amerika Serikat ke Laos sebanyak 260 juta bom. Dan 30% persen di antara bom itu belum meledak sampai sekarang. Baru pada tahun 2004 situs ini mulai dibersihkan dari bom.

Hati2 kalau melangkah di area Plain of Jars (koleksi @ysdaya)


Pengunjung yang datang memang diwajibkan waspada melangkah di lokasi Plain of Jars. Plain of Jar sebenarnya kumpulan batu-batu raksasa. Di Phonsavan sendiri terdapat tiga tempat lokasi kumpulan batu-batu seperti ini. Di lokasi pertama seluas 25 hektar ini, setidaknya terdapat 334 batu ukuran raksasa. Yang mengherankan adalah mengapa batu-batu ini bisa berkumpul di satu tempat. Menurut legenda, berasal dari peradaban yang sudah hilang sekitar 1500 hingga 2000 tahun yang lalu. Meski begitu belum diketahui fungsi batu raksasa ini.


Bandingkan ukuran Plain of Jars dengan manusia (koleksi @ysdaya)


Menurut teori para antropolog dan arkeolog, batu raksasa ini dahulunya digunakan sebagai tempat menyimpan abu jenazah yang sudah dikremasi. Meski ada juga yang mempercayai , Plain of jar fungsinya sama seperti magic jar untuk menyimpan nasi dan makanan.
Di beberapa tempat, bisa disaksikan pula lubang bekas bom meledak. Wajar apabila Plain of Jar dijuluki sebagai situs budaya paling berbahaya di dunia. Bahkan terdapat pula di sini goa bekas lubang persembunyian masyarakat Laos sewaktu perang rahasia. Hampir selama 10 tahun, goa ini menjadi rumah bagi para pengungsi. Mereka menikah, melahirkan, dan meninggal di sini.

Di belakang saya berdiri adalah goa persembunyian Perang Rahasia (koleksi @ysdaya)


Salah satu kampung yang banyak dihuni korban perang rahasia adalah Khang Khai. Butuh waktu 20 menit untuk mencapai kampung ini dari pusat kota. Disebut Khang Khai karena setiap orang yang tinggal di sini pernah mengalami kecelakaan perang. Setidaknya terdapat 65 penduduk kampung pernah terkena bom dan selamat. 

Anak kampung Khang Khai (koleksi @ysdaya)

Salah seorang dari mereka adalah Bounphom. Pria 68 tahun ini terpaksa diamputasi kakinya akibat terkena ranjau. Untungnya, ia mendapat bantuan kaki palsu sehingga bisa beraktivitas menggarap sawah. Pak Bounphom adalah mantan tentara Laos yang ikut berperang melawan Amerika tahun 1968. Saat berperang di hutan Xieng Khouang tahun 1970, bapak tujuh anak ini menjadi korban ledakan bom. Ia pun terpaksa merelakan kakinya untuk diamputasi. Dan sejak itu pula Pak Bounphom menjalani hari-hari suramnya, hidup dengan satu kaki. Ironisnya, ia tidak mendapat bantuan keuangan sama sekali dari pemerintah. Barulah 29 tahun kemudian, ia mendapatkan kaki palsu gratis bantuan dari lembaga swasta Thailand. Lantas gimana caranya keluarga mereka memenuhi kebutuhan sehari-hari ? Istrinya lah yang bekerja sebagai petani.


Bersama Pak Bounphom, korban Perang Rahasia (koleksi @ysdaya)



Sejarah Laos masih terus berlanjut, nanti saya akan mengunjungi ibukota Laos semasa masih berbentuk kerajaan yakni di Luang Prabang. Tetap asikin blog ini.

Tuesday, November 4, 2014

JALAN JALAN KE VIENTIANE LAOS DENGAN 3 MATA UANG BERBEDA

Berada di Vientiane, ibukota Republik Demokratik Laos seperti berada di Jakarta tempo doeloe warsa 60-an. Saat itu begitu mudah ditemukan lambang PKI yakni palu arit di setiap sudut jalan. Ini pula yang saya dapati saat bertandang ke negeri yang menganut sistem pemerintahan komunis ini.

Untuk mencapai Vientiane, kita dapat menempuh perjalanan darat dari Bangkok, ibukota Thailand menggunakan bus. Perjalanan ini memakan waktu 12 jam menempuh rute Bangkok hingga perbatasan di Nong Khai hingga masuk ke Vientiane. WNI harus membeli visa o arrival terlebih dahulu sebelum masuk negeri ini. Meski sesama negara ASEAN, tetap saja WNI harus mendapatkan visa. Uniknya, visa ini bisa dibayar menggunakan tiga mata uang yakni; Dollar Amerika, Baht Thailand, dan Kip Laos.

Penggunaan tiga mata uang ini ternyata berlaku pula untuk setiap transaksi jual beli di Vientiane. Hal ini terjadi mengingat Vientiane langsung berbatasan dengan Nong Khai di Thailand sehingga mata uang Baht pun bisa ditolerir. Bahkan sinyal operator telepon Thailand pun masih bisa dijangkau di ibukota Laos. Cukup unik bukan. Bagi WNI yang menggunakan operator telepon asal Indonesia hanya beberapa saja dari operator tersebut yang bisa digunakan.



Soal akomodasi dan kebutuhan perut bisa kita temui di sepanjang Sungai Mekong. Meski memang, bagi muslim agak susah mendapatkan makanan halal. Beberapa restoran India Muslim hadir di sepanjang Sungai Mekong.

Meski Laos negeri komunis, bukan berarti pemerintah dan masyarakatnya menutup diri dari pergaulan internasional. Cukup banyak wisatawan asing utamanya Perancis yang datang ke sini. Beberapa di antara untuk bernostalgia mengingat Laos dahulu merupakan negara koloni Perancis. Itu pula sebabnya penamaan jalan banyak menggunakan bahasa Perancis.
Meski negeri komunis, ternyata Laos membolehkan rakyatnya memeluk agama. Buddha merupakan kepercayaan yang dianut mayoritas masyarakat Laos. Adapun Islam termasuk minoritas, hanya dianut oleh 0,01% atau sekitar 600 jiwa dari total populasi. Sebagian besar dari mereka adalah pendatang. Mayoritas pendatang dari Kamboja yang mengungsi sewaktu Khmer Merah berkuasa di Kamboja.

Salah satu pusat penyebaran Islam ada di Masjid Jama yang berada persis di pusat kota, meski jalan masuknya tidaklah terlampau lebar. Menurut penuturan pengurus, masjid ini dibangun tahun 1970 oleh pendatang India, Pakistan, Bangladesh, dan masyarakat setempat.


Masjid Jama lumayan kecil, hanya mampu menampung 150 jamaah. Meski begitu sering kali didatangi diplomat asing dari negara-negara mayoritas Islam, termasuk Indonesia. Itu sebabnya masjid ini menggunakan bahasa pengantar Inggris, Arab, Tamil, dan Laos.
Dahulu, umat Islam Laos ternyata pernah mencapai tiga ribu orang. Namun, setelah pemerintah komunis berkuasa kini hanya berkisar 600 orang. Itu sebabnya masjid ini daya tampungnya sedikit saja. Lantai bawah digunakan untuk belajar mengaji, dan lantai atas untuk ibadah sholat.

Komunitas muslim juga terdapat di daerah pinggiran, tepatnya di Distrik Chantaouli. Daerah ini didominasi para pekerja olongan ekonomi bawah. Masjid Al Azhar berdiri tahun 1976. Para pengungsi Kamboja-lah yang membangun masjid ini, meski harus menunggu izin tiga tahun terlebih dahulu sebelum membangun. Sadar bahwa tinggal dan hidup di negara komunis, maka pengurus Masjid Al Azhar diwajibkan mengibarkan bendera palu arit. Cukup miris memang.

Berada di Vientiane tidak sah rasanya bila tidak berkunjung ke Patuxai, simbol negara Laos. Bentuknya mirip sekali dengan Arch de Triomphe di Perancis. Patuxai atau gerbang kemenangan ini dibangun antara tahun 1957-1968. Uniknya lagi, bahan dasar bangunan ini menggunakan semen dari Amerika Serikat yang tadinya hendak digunakan membangun bandara. Dari atas bangunan ini kita bisa meihat pemandangan kota Vientiane.



Di sekitar Patuxai terdapat taman yang selalu dikunjungi masyarakat. Dan di taman inilah dipajang Gong Perdamaian Dunia berukuran besar. Gong ini sejatinya merupakan sumbangan pemerintah Indonesia pada November 2008.

Untuk kehidupan malam, ada baiknya menyusuri Jalan Fa Ngum di tepi Sungai Mekong, Banyak souvenir khas Laos eperti sutra, lukisan hingga minuman energi. Uniknya minuman energi ini merupakan air rendaman kalajengkin dan ular dimana binatang tersebut masih ada di dalamnya. Satu lagi makanan energi yakni Kai Lu, berupa telor bebek. Uniknya, embrio bebek tersebut masih ada di telor rebus tersebut.

Satu tempat yang layak didatangi adalah Lembaga Cooperative Orthotic and Prosthetic Enterpris atau COPE. Lembaga yang berdiri sejak tahun 1997 ini khusus bergerak membantu penyediaan kaki palsu bagi korban perang.

Tidak banyak yang tahu, bangsa Laos dahulu pernah terlibat perang dengan Amerika Serikat. Perang yang tidak pernah diakui negara adidaya ini, terjadi warsa tahun 60-an hingga 70-an. Antara rentang waktu 1965 hingga 1975 sebagian besar bom diledakkan di Provinsi Xien Kuang Laos. Ketika itu, Amerika Serikat berperang dengan Vietnam, mencegah agar pengaruh komunis tidak sampai ke Laos. Meski akhirnya Laos menjadi negara komunis. Nah di bawah ini adalah foto saya bersama korban perang rahasia. Sang kakek kakinya buntung akibat terkena serpihan bom.


Jenis bom yang paling banyak digunakan adalah cluster bom. Diperkirakan terdapat 260 juta bom yang dijatuhin tentara Amerika Serikat ke Laos. Parahnya lagi, 30 persen bom hingga sekarang masih aktif alias belum meledak.

Oh ya, kalau kita meninggalkan Laos jangan lupa tukar semua mata uangnya Kip dengan Baht (mata uang Thailand) atau Dollar Amerika. Karena Kip tidak akan laku di negara lain, sukur-sukur bisa dihargai separuh dari nilai aslinya.

Oke asikin cerita ke tempat lain masih di Laos di postingan selanjutnya.
 

Pages