Wednesday, December 29, 2010

PENGANTIN LAUT MERAH (JEDDAH)



Satu setengah jam, waktu yang cukup singkat ditempuh antara kota Mekkah menuju Jeddah Arab Saudi. Namun perbedaan besar akan segera didapat saat kaki menapak kota pelabuhan ini. Hal utama tersebut adalah memasuki Jeddah sama artinya dengan memasuki Kota Halal. Ini sama artinya bahwa semua orang dengan berbagai latar belakang keyakinan dihalalkan masuk ke Jeddah. Akan berbeda halnya dibandingkan kota Mekah dan Madinah yang mengharamkan pendatang selain pemeluk Islam, dan ditasbihkan sebagai Kota Haram.

Pembedaan antara Kota Haram dan Kota Halal ini pula yang mungkin membuat pendatang merasakan betapa suhu matahari bisa membuat keringat membanjiri tubuh ketika berada di Jeddah. Padahal boleh dibilang, suhu kota Mekkah dan Madinah lebih panas ketimbang Jeddah namun tidak pernah pendatang mengeluarkan keringat karena suhu panas. Maha Suci Allah sang pengatur keadaan agar umatnya senantiasa nyaman dalam beribadah dalam keadaan panas sekalipun.

Biasanya, Jeddah menjadi awalan saat jemaah umroh tiba dari tanah air dan mendarat di Bandara King Abdul Aziz. Dan di kota ini pula jamaah bertolak kembali menuju tanah air. Itu sebabnya Jeddah sering pula disebut pintu gerbang tanah haram.



Meski hanya transit, banyak yang bisa disaksikan. Salah satunya adalah Masjid Terapung. Berkat kekreatifan jamaah Indonesia-lah, masjid yang bernama asli Masjid Rahmah ini disebut begitu. Disebut terapung karena posisinya yang terletak di bibir pantai Laut Merah. Saat air laut pasang, maka bangunan masjid menjadi seolah terapung di atas air. Masyarakat setempat menyebut masjid ini sebagai Jami`At Taubah. Bangunan masjid sendiri tidaklah terlampau mewah dan istimewa. Satu-satunya hal yang membuat istimewa hanyalah posisinya. Di dunia sendiri boleh dibilang cukup sedikit masjid yang dibuat dengan konstruksi di atas air. Salah satunya adalah Masjid Terapung di Kuala Trengganu, Malaysia. Masjid tersebut bernama Masjid Tengku Tengah Zaharah dibangun di atas Sungai Ibai.

Bukan hanya Masjid Terapung yang bisa dinikmati, air Laut Merah pun menjadi objek favorit jamaah. Bagi mereka yang penasaran, air laut ternyata tidaklah semerah namanya. Disebut begitu karena terdapat ganggang merah di dalam air laut itu sendiri. Legenda mengatakan pula bahwa laut ini dinamakan merah karena di laut ini pula-lah Firaun memberi perintah agar bayi-bayi di masanya dibuang ke laut untuk mencegah kejatuhan kekuasaan dirinya, sebelum akhirnya Nabi Musa diselamatkan Allah SWT. Di laut ini pula pernah terbelah dan Nabi Musa bersama umatnya bisa menyebrang dan Firaun bersama bala tentaranya binasa ditelan gelombang. Dengan garis pantai sepanjang 80 kilometer, tidak berlebihan bila Jeddah disebut pula sebagai ‘The Bride from The Red Sea’ atau Pengantin Laut Merah.




Dari tepi pantai, tampak pula air mancur tertinggi di dunia yang disebut Nafura Malik Fahd. Air mancur ini bila memuncratkan air bisa hingga ketinggian 312 meter melebihi ketinggian Menara Eiffel di Paris, Perancis. Di malam hari bagaikan air perak muncrat ke langit. Air mancur ini sendiri dibangun dekat istana As Salam Raja Fahd.

Jangan membayangkan Jeddah yang awal berdirinya dibangun oleh Khalifah Usman bin Affan tahun 647 Masehi sebagai kota tertinggal. Jeddah kini adalah kota metropolis yang terus berbenah diri menyerupai kota metropolitan di dunia seperti Singapura, Kuala Lumpur, Guang Zhou, dan kota besar lainnya. Jeddah sebagai kota kedua di Arab Saudi pengekspor minyak banyak melahirkan orang-orang berkelebihan dalam hal materi.

Tak heran bila banyak sekali mobil mewah berseliweran di kota ini. Jika membandingkan dengan mobil di tanah air, maka banyak sekali merk mobil yang tidak didapati di Indonesia. Sungguh, luar biasa makmur kalangan berpunya di Jeddah. Dan bukan hanya itu, supir taxi yang saya tumpangi pun bercerita bahwa bila mobil-mobil mewah tersebut lecet atau tersenggol karena tabrakan, adalah lazim bila mobil tersebut ditinggalkan begitu saja oleh empunya. Hal ini bisa saja terjadi mengingat kebiasaan orang lokal yang mengemudikan kendaraannya dengan ngebut.

Siang hari sesudah makan siang menjadi waktu yang lazim bagi penduduk setempat untuk tidur siang. Suhu panas di luar ruangan yang amat menyengat menjadi penyebab banyak orang enggan keluar rumah dan memilih beristirahat. Biasanya mereka akan kembali melakukan aktivitas antara jam tiga atau empat petang.

Layaknya Negara Islam lainnya di dunia, akhir pekan di Jeddah jatuh pada hari Kamis dan Jumat.  Namun tidak seperti halnya dengan kota lain di dunia dimana akhir pekan dihabiskan di waktu pagi hingga sore hari. Di kota ini keluarga menghabiskan akhir pekan justru di sore hingga dini hari. Mereka memilih memutar jam biologis demi menghindari sengatan matahari. Maka menjadi pemandangan yang lumrah bila anak-anak kecil bermain di taman kota ketika jarum jam mendekati pukul 12 dini hari.



Nama Jeddah sering pula diartikan sebagai ‘nenek’ dalam bahasa Arab. Tak terlalu salah memang bila penyebutan ini berdasarkan kepercayaan setempat bahwa di Jeddah-lah tempat dimakamkan Siti Hawa, ibu nenek moyang umat manusia. Makam yang disebut kuburan Hawa tersebut terletak di tengah kota dan dikelilingi tembok dengan luas setidaknya dua kali lapangan sepak bola. Sayangnya makam ini tampak tidak terawat. Bisa jadi tradisi di Arab yang tidak terlalu memperhatikan makam. Padahal kuburan ini termasuk objek favorit peziarah terutama jamaah Indonesia.

Berbicara Siti Hawa, maka mau tak mau kita berbicara pula Nabi Adam AS. Dan di Jeddah ini pula terdapat sebuah monumen berupa patung raksasa berbentuk sepeda yang dinamakan sebagai Sepeda Nabi Adam. Lokasi monumen sepeda raksasa ini berada di tengah kota dalam sebuah lingkaran yang dinamakan Medan Ad Darojah. Lucunya, penyebutan monumen ini sebagai sepeda Nabi Adam salah besar. Padahal, mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin-lah yang menghibahkan monumen tersebut untuk pemerintah kota Jeddah. Hal ini disebabkan orang Arab tidak dapat membuat sesuatu menjadi monumen atau patung dari makhluk hidup, sesuatu tersebut haruslah dari benda mati seperti halnya sepeda berukuran tinggi lebih dari 20 meter ini.

Satu hal yang lagi yang membedakan antara Arab Saudi dengan Negara lain adalah penegakan hukum, utamanya hukum Qisos. Dan salah satu tempat pelaksanaannya mengambil tempat di Masjid Qisos. Masjid umum ini terletak dekat dengan Markas Polisi Militer Jeddah. Bentuknya agak unik karena memiliki 26 kubah. Menurut cerita warga setempat, mashid ini bernama Syekh Ibrahim Al Juffali, salah seorang saudagar pendiri masjid tersebut. Persis di halaman masjid terdapat aula yang dipagar dan lantainya menggunakan keramik putih. Di tempat inilah tempat diterapkannya hukum qisos yaitu eksekusi potong tangan bagi pencuri hingga pancung. Waktu pelaksanaanya biasa dilakukan setelah sholat Jumat dan disaksikan terbuka bagi umum. Namun pelaksanaan pancung bisa batal apabila keluarga korban memaafkan sang pelaku.



Usai berkeliling kota Jeddah, sempatkan mampir ke kawasan kota tua, Balad. Kota tua ini dibangun sekitar 2500 tahun yang lampau dan menjadi tempat persinggahan niaga antara Yaman dan Eropa. Kini Balad hanya menyisakan bangunan-bangunan kuno yang lapuk dimakan zaman. Meski begitu, bagi mereka yang ingin menelusuri masa lalu, seringkali menyempatkan datang untuk sesi fotografi menikmati pemandangan arsitektur gedung. Di Balad pula, jamaah seringkali berbelanja oleh-oleh mengingat banyak sekali barang impor dijual di kawasan ini. Pemerintah Jeddah sendiri menobatkan kawasan ini sebagai kawasan sejarah dan masuk sebagai daerah tujuan wisata spesifik.




Dengan segala daya tariknya, Jeddah bukan sekedar menjadi kota transit belaka bagi mereka yang melaksanakan ibadah haji ataupun umroh. Jeddah terlalu menarik untuk dilewatkan sebagai pengantin laut merah.


Pages