Negeri Maroko seringkali disebut sebagai negeri maghribi. Dalam bahasa
Arab, maghribi bermakna barat, sesuai dengan letak geografi Maroko di Benua
Afrika sebelah utara bagian barat.
Dari penyebutan maghribi, maka tak heran bila umat Islam sangat
mendominasi negara yang berbatasan dengan Samudra Atlantik dan Pegunungan
Atlas. Dan dari Maroko pula, penyebaran Islam ke Benua Eropa dilakukan terutama
dua negara tetangga yakni Spanyol dan Portugal.
Berbahagialah bangsa Indonesia yang ingin berkunjung ke Maroko, karena
tidak membutuhkan visa. Adalah presiden Republik Indonesia pertama, Soekarno
yang berjasa besar meminta kepada Raja Maroko kala itu Mohammad V untuk
membebaskan bangsa Indonesia dari visa, saat berkunjung ke Maroko tahun 1960.
Raja Mohammad V sendiri memang mengagumi Soekarno sejak dicetuskan Konferensi
Asia Afrika (KAA) tahun 1955 di Bandung. Bahkan, kemerdekaan Maroko pun
terinspirasi dari KAA. Sebagai bentuk penghargaan kepada Soekarno, terdapat
jalan protokol di tengah ibukota Maroko yakni Rabat diberi nama ‘Sharia Al Rais
Ahmed Soekarno Rue’ atau Jalan Soekarno. Jalan sepanjang 300 meter ini
posisinya setara dengan Jalan Raja Mohammad V. Dan Soekarno sendiri yang
meresmikan jalan tersebut.
Tidak hanya sebatas Jalan Soekarno. Bukti kekerabatan antar bangsa begitu nyata di Kota Rabat. Di kota berpenduduk 1,7 juta jiwa ini terdapat pula ‘Jalan Indonesia’. Meski hanya jalan kecil beberapa meter saja, di jalan ini terdapat tiga apartemen dan tiga rumah penduduk. Masih belum cukup, kota Bandung pun diabadikan menjadi nama jalan sepanjang 150 meter di pusat kota Rabat. Uniknya lagi ujung jalan ini berbatasan langsung dengan ‘New York Rue’.
Hanya di Rabat, jarak antara Bandung dengan New York terpisah dalam hitungan langkah kaki. Bagi pembaca yang tinggal di Jakarta pun tidak perlu kecil hati, karena di Rabat pun terdapat ‘Jakarta Rue’. Sungguh membanggakan hubungan bagai saudara ini.
Rabat menjadi ibukota Maroko sejak tahun 1913, ketika masih dikuasai
penjajah Prancis. Sebelumnya, ibukota Maroko berada di Fez, kota bagian utara.
Saat meraih kemerdekaan tahun 1956, Raja Mohammad V kala itu, mempertahankan Rabat
menjadi ibukota kerajaan hingga kini.
Nama Rabat diambil dari bahasa Arab, ‘Ribatul Fath’ yang berarti
kemenangan yang semakin kuat. Hal ini disebabkan, Rabat dahulu merupakan kota
benteng yang sulit ditembus musuh. Sisa benteng pun masih bisa disaksikan
hingga kini.
Adalah Kasbah de Oudais (baca: Kasbah de Udayya), begitu penduduk
setempat menyebutnya. Di zaman kejayaan Maroko, Kasbah merupakan benteng untuk
menahan gempuran musuh, terutama bangsa Spanyol. Ketika itu, Rabat yang menjadi
ibukota Kerajaan Al Mohad memang kerap kali diserang musuh, apalagi letak geografisnya
berada dekat Samudra Atlantik. Itulah sebabnya, Yakoub Al Mansur, atau lebih
dikenal Moulay Yakoub membangun Kasbah atau kota dalam benteng ini di tahun
1150 Masehi.
Bukan hanya tembok Kasbah yang masih berdiri, pemukiman penduduk di
balik tembok tebal pun masih lestari hingga kini. Saat kita masuk, kehidupan yang
bagaikan dari masa lampau terus berdenyut. Bentuk-bentuk bangunannya pun masih
asli sejak pertama kali dibangun. Itu sebabnya, banyak sekali wisatawan datang
mengagumi keaslian kehidupan di Kasbah.
Sedikitnya 3 ribu jiwa menghuni pemukiman kasbah. Di kiri kanan jalan
yang sempit, bangunan tempo dulu masih tegak berdiri. Ada baiknya bertandang ke
rumah penduduk lokal untuk meresapi lebih dalam rasa tinggal di pemukiman dalam
benteng. Dahulu, hanya orang-orang berpunya saja yang mampu tinggal di Kasbah.
Beruntunglah penulis diperkenankan singgah sejenak di rumah salah satu
penduduk, Madam Anisa namanya. Ibu yang baik ini menyajikan harira, bubur khas
Maroko campuran kacang, bawang, telur, dan rempah-rempah lokal sebagai hidangan
buka puasa atau ifthar. Inilah indahnya, ramadhan di maghribi.
Menurut penuturan sang pemilik rumah, hampir 25 persen dari tiga ribu
penghuni Kasbah merupakan orang asing. Sebagian besar bangsa Amerika, Eropa, dan
Asia yang menyewa rumah-rumah penduduk lokal. Tarif sewa mulai dari tiga ribu
hingga 10 ribu Dirham, atau sekitar 4 hingga 13 juta Rupiah.
Pembicaraan pun harus diakhiri mengingat hidangan utama Kuskus harus
segera disantap. Kuskus biasanya disajikan saat bulan puasa dimana bahannya
terdiri atas gandum, tomat, kentang, dan daging. Porsinya yang besar sudah
barang tentu harus dihabiskan bersama seluruh anggota keluarga.
Sebagai negera kerajaan Islam, sudah barang tentu banyak peninggalan
bernafaskan Islam di Rabat. Salah satunya, Hassan Tower atau Menara Hasan. Badan
dunia PBB, Unesco bahkan menetapkan bangunan ini sebagai warisan dunia.
Menara yang didirikan oleh Sultan Yacoub Al Mansour ini merupakan
bagian dari masjid yang didirikan tahun 1195. Dahulu, menara ini diproyeksikan
menjadi menara tertinggi di dunia sepanjang 86 meter. Sayang, harapan tinggal
harapan. Seiring mangkatnya Sang Sultan tahun 1199, maka pembangunan menara pun
berhenti di ketinggian 44 meter. Begitu pula pembangunan masjid yang turut
terhenti.
Padahal Sultan Yacoub Al Mansour berobsesi memiliki masjid monumental,
terbesar di dunia demi kejayaan Islam. Beliau sendiri memerintah kerajaan islam
di Maroko yang menguasai Afrika Barat dan Semenanjung Iberia.
Kini, apa yang bisa dilihat hanyalah hamparan 200 pilar sebagai puing
yang sejatinya merupakan bangunan masjid yang tidak pernah jadi. Meski begitu,
menara yang terbuat dari batu dan pasir merah ini masih berfungsi hingga kini,
menyiarkan kumandang azan sholat.
Sebagai gantinya, didirikanlah Masjid Hassan yang baru, namun berukuran
kecil untuk beribadah. Hanya muslim yang boleh memasuki masjd ini, turis non
muslim dilarang masuk ke dalam.
Bangunan lain yang masih bersambungan dengan komplek Menara Hassan
adalah Mausoleum, atau makam para raja. Siapapun boleh masuk gratis, termasuk berpose
di samping penjaga mausoleum yang memakai pakaian khas.
Untuk melihat makam raja, pengunjung cukup melongokkan kepala ke bawah.
Makam yang persis berada di tengah merupakan makam Raja Mohammad V. Persis di
pojok kanan dan kiri terbaring pula makam kedua putra Raja Mohammad V. Salah
satunya, makam Hasan II yang menjadi menjadi penerus Mohammad V. Hasan II pula
yang menjadi ayahanda dari raja Mohammad VI yang berkuasa saat ini di Maroko.
Adapun makam yang satu lagi, makam Pangeran Abdallah.
Boleh dibilang, mausoleum ini merupakan mahakarya arsitektur Dinasti Alaouite
yang selesai masa pembangunannya pada tahun 1971.
Bangunan bersejarah lainnya adalah Benteng Chellah. Di sinilah dahulu,
cikal bakal pemukiman penduduk pertama yang ada di kota Rabat, dibangun tiga
abad sebelum masehi.
Namun ketenangan pemukim Chellah tidak bertahan lama. Pada tahun 40
Masehi , bangsa Romawi mengambil alih Chellah dan merubah peruntukan pemukiman
bagi penduduk koloninya, Sale. Romawi menguasai benteng ini hingga tahun 250
Masehi. Beberapa peninggalannya banyak bertebaran di reruntuhan benteng.
Chellah pun berganti penguasa pada Kesultanan Islam Al Mohad tahun
1146. Sang penguasa, Abdul Al Mukmin menjadikan benteng ini sebagai basis
pertahanan menyerang bangsa Spanyol. Hingga akhirnya Kesultanan Al Mohad meraih
kemenangan gilang gemilang. Dan kota Rabat mendapatkan namanya dari kalimat
‘ribatul fath’ yang berarti kemenangan besar yang terus dipertahankan.
Saat Sultan Yaqub Al Mansour memerintah Kesultanan Al Mohad, ibukota
pun dipindahkan ke Rabat . Di dalam benteng Chellah, bisa didapati bangunan
masjid yang telah menjadi puing. Masjid ini sendiri dibangun pada abad ke 15
oleh Abul Hasan Marini berjuluk Sultan Hitam atau Sultan Aswad. Dan di dalam
masjid pula terdapat makam sang sultan beserta keluarganya. Bahkan terdapat
pula bekas madrasah di sekitar komplek masjid.
Tidak jauh dari Benteg Chellah, cukup berjalan kaki sebentar
pemandangan Sungai Bou Reg Reg teramat sayang untuk dilewatkan. Sekedar
menikmati senja bisa dilakukan dengan duduk di kafe sekitar sungai. Nama Bou
Reg Reg, berasal dari sebutan sungai yang berada di Maroko bagian barat,
sumbernya berada di Pegunungan Atlas. Sungai ini merupakan bagian dari Samudra Atlantik, memisahkan kota
Rabat dan Sale. Jadi, masyarakat sini terbiasa menggunakan sarana perahu untuk
menyebrang antar kota.
Dahulu kala, bangsa Phoenicia dan Chartagena – lah yang mendiami
kawasan Sungai Bou Reg Reg. Mereka mendirikan Republik Bou Reg Reg tahun 1627.
Republik ini dijalankan para bajak laut Berber yang menjadikan wilayahnya
sebagai basis pertahanan menyerang kapal muat yang melintas. Para bajak laut
yang terkenal akan aksi jarahnya ini, mendapat julukan Sale Rovers. Dalam
melakukan aksinya, mereka bahkan mengembara hingga ke Amerika yang masih
tersambung dengan Samudra Atlantik.
Keberadaan para bajak laut ini sendiri mendapat usikan dari Kesultanan
Alaouite, sebagai usaha menyatukan Maroko di tahun 1666. Upaya ini tidak
berhasil, termasuk bangsa Eropa yang juga ingin merebut Republik Bou Reg Reg. Negeri
bajak laut ini akhirnya tumbang di tahun 1818. Meski tumbang, para bajak laut
tetap menjadikan Rabat sebagai basis pertahannya. Kehebatan masa lalu Sungai
Bou Reg Reg pula yang menjadikan lokasi ini tempat syuting film Hollywood
‘Black Hawk Down’ dan bagian plot cerita novel ‘Robinson Crusoe’.
Usai menikmati pemandangan tepi Sungai Bou Reg Reg tak ada salahnya
menapaki kawasan lama pasar seni. Jangan heran bila toko-toko masih tutup usai
magrib hingga selesai sholat tarawih di bulan Ramadhan. Rupanya, para pemilik
baru melanjutkan perniagaan usai melaksanakan ibadah. Di sinilah tempatnya bila
ingin mencari souvenir khas Maroko mulai lukisan hingga jelaba yang merupakan
pakaian khas Maroko. Namun, ada baiknya tunda dahulu hasrat berbelanja banyak
sebelum melanjutkan perjalanan menuju Marakesh.
Dari Rabat menuju Marrakesh perjalanan menggunakan kereta adalah
pilihan yang tepat. Butuh waktu empat jam hingga akhirnya tiba di ‘Kota Merah’
ini. Betapa tidak, sejak tiba di Stasiun Marrakesh hingga keluar stasiun, maka
pemandangan warna bangunan serba merah begitu mencolok. Rupanya inilah warna
khas sekaligus kebanggaan penduduk Marrakesh yang membedakannya dari kota lain.
Nama Marrakesh diambil dari kata Murakush bahasa Berber yang bermakna
‘Land of God’ atau Tanah Tuhan. Marrakesh pernah pula menjadi ibukota Maroko
zaman Dinasti Al Moravid dan Al Mohad. Dan sebutan Kerajaan Marrakesh-lah yang
paling dikenal oleh bangsa-bangsa di Eropa, Arab, Persia, hingga Asia Selatan.
Peninggalan di Marrakesh yang paling dikenal umat Islam adalah Masjid
Koutoubia dengan menaranya. Dibangun antara tahun 1184 hingga 1199 di masa
Sultan Yaqub Al Mansur. Nama Koutoubia sendiri diambil bahasa Arab yang
bermakna pustakawan, mengingat dahulu banyak sekali penjual manuskrip di
sekitar masjid.
Begitu terkenalnya Menara Koutoubia, sampai-sampai Menara Hasan di
Rabat dan Giralda di Sevila Spanyol pun mengambil model dari menara ini. Boleh
dibilang, inilah icon kota Marrakesh. Pemandangan akan semakin indah dinikmati
terutama saat magrib menjelang.
Keramaian di Masji Koutoubia semakin menjadi saat bulan Ramadhan tiba.
Berbondong-bondong umat Islam datang melaksanakan shalat Isya dan tarawih
berjamaah. Bahkan trotoar jalanan pun penuh sesak oleh luberan jamaah. Kalau
sudah begini, wisatawan asing non Islam pun akan merasa takjub demi melihat
pemandangan demikian.
Namun tarawih di sini agak berbeda dengan di tanah air. Tarawih
dilaksanakan dua putaran terbagi atas 10 rakaat usai shalat Isya untuk putaran
pertama. Setelah itu jamaah pun bubar, pulang ke rumah untuk bersantap bersama
keluarga. Tarawih putaran kedua baru dilaksanakan antara pukul 22.00 hingga
23.30.
Berbuka puasa bagi wisatawan muslim tidaklah sulit. Hotel atau
penginapan biasanya akan memberikan hidangan buka puasa gratis. Kalau sudah
begini, keluarlah hidangan tradisional seperti harira dan minuman teh mint.
Bila masih terasa lapar, datanglah ke restoran untuk memesan tajin yang terbuat
dari daging sapi atau ayam.
Jangan pula lewatkan pasar malam Djemaa el Fna. Cukup berjalan kaki
beberapa langkah saja dari Masjid Koutoubia, sampailah di pasar malam paling
ramai di seluruh benua Afrika. Berbagai warung tenda menyajikan hidangan lokal
berjejer di lapangan terbuka ini. Belum cukup, masih ada kios buah-buahan seperti
orange yang siap dibikin menjadi juice. Para pedagang ini biasanya cukup
agresif menawarkan dagangannya. Jangan lupa pula untuk membeli sekedar air
minum dari para penjual air yang berkeliling jalan kaki. Mereka biasanya
memakai kostum yang cukup unik. Berfoto bersama mereka tarifnya lebih mahal
ketimbang air yang dibeli.
Setelah perut terisi, siapkan diri menghadapi beragam hiburan malam
yang begitu riuh. Berbagai pertunjukan kesenian hingga akrobat hadir di sini.
Sebut saja seperti peramal, tukang cerita, pemakan api, peniup suling ular, dan
berbagai aksi akrobatik lainya. Tentu saja hiburan yang
mereka bawakan tidaklah gratis. Usai pertunjukan mereka akan menarik bayaran
dari siapa saja yang menonton. Jangan pula terlalu larut menyaksikan seluruh pertunjukan,
mengingat keesokan pagi masih banyak tempat menarik untuk dikunjungi.
Marrakesh
memiliki dua bangunan istana tempo dulu, salah satunya Istana el Badi. El Badi
berarti istana yang tidak dapat dibanding-bandingkan. Sayangnya, yang tersisa
kini hanya puing belaka. Keputusan sang sultan mendirikan istana ini diambil setelah ia dan
pasukannya meraih kemenangan melawan tentara Portugis, dalam pertempuran Tiga
Raja tahun 1578.
Pembangunan istana berlangsung selama 25 tahun. Dahulu, setidaknya
terdapat 360 ruangan dalam kompleks Istana el Badi. Dari sekian banyak ruang
yang mencerminkan kemegahan istana, terdapat satu bagian menyisakan sisi kelam yakni
penjara bawah tanah.
Dahulu para penghuni penjara dimasukkan beramai-ramai dalam satu sel
berukuran sempit. Tidak ada ceritanya, satu sel untuk satu tahanan. keadaan
semakin parah dengan ketiadaan penerangan yang cukup. Sejak ratusan tahun lalu
hingga kini, keadaan penjara bawah tanah tetap dipertahankan.
Sayang seribu sayang, istana ini hanya sanggup bertahan hingga tahun
1603. Di tahun itulah, Sultan Moulay Ismail dari Dinasti Alouite menghancurkan
kekayaan budaya Dinasti Saadian. Meski begitu, material bangunan istana ini
tidak lantas dibuang dan dihancurkan begitu saja. Sebaliknya Sultan Moulay Ismail justru menggunakan
kembali untuk membangun istananya yang berada di kota Meknes, Maroko.
Satu lagi istana di kota Marrakech, istana yang cukup sederhana namun
elegan, Istana el Bahia. siapapun harus membayar untuk masuk ke dalam. Sepintas
terlihat seperti rumah peristirahatan. Namun, inilah istana yang dibangun akhir
abad kesembilan belas dengan arsitektur ketimuran yang sangat kuat.
Istana el Bahia dibangun bagi Ahmed Ibnu Mousa, atau Ba Ahmed, anak
dari Perdana Menteri Kesultana Alouite. Pembangunan dimulai sejak tahun 1894 oleh
Muhammad Al Mekki, arsitek kenamaan di Marrakech kala itu. Tidak
tanggung-tanggung, pemahat dan pengukir dari kota Fez, utara Maroko didatangkan
langsung. Khusus untuk pahatan dan ukiran seni yang menghiasi istana ini, butuh
waktu 15 tahun untuk mengerjakannya. Dekorasi seni yang dihasilkan, disebut-sebut
hasil adopsi dari Kerajaan Nasrid di Spanyol, yang diterjemahkan dalam gaya
Maroko.
Saat dibangun, Istana el Bahia diproyeksikan menjadi istana terbesar
di masanya. Bayangkan dengan keberadaan ruangan yang mencapai lebih dari 150
ruangan di dalam istana. Konon
ruangan ini diperuntukkan bagi Ba Ahmed, keempat istri berikut 24 selir,
serta para pembantu.
Dahulu, ukuran cinta seorang bangsawan terhadap wanitanya bahkan bisa
diukur. Hal ini dapat terlihat dari ukuran kamar. Semakin besar cinta sang
suami maka semakin besar pula ukuran kamar.Maka tidak heran bila istana ini
dinamakan Bahia yang memiliki arti istana keindahan.
Masih berkisar keindahan, datanglah ke Taman Majorelle dimana kaktus
dengan beragam variannya begitu indah dipandang. Taman ini memiliki koleksi
kaktus terlengkap di Maroko.
Taman Majorelle pertama kali dibangun tahun 1924 oleh Jaques Majorelle
yang berprofesi sebagai seniman lukis dan memiliki kecintaan luar biasa akan
kaktus sebagai tanaman mistis. Kaktus pula yang menjadi ilhamnya dalam setiap
karya seninya.
Ratusan koleksi kaktus milik Jaques Majorelle dikumpulkan dari seluruh
penjuru dunia. Bukan hanya nama kaktusnya saja, negeri asal kaktus ini pun tidak
familiar di telinga. Tak salah bila taman ini disebut-sebut sebagai taman
paling misterius sedunia.
Taman Majorelle buka setiap hari, tidak pandang hari libur dan musim.
Tentu saja untuk pengunjung ditarik iuran sebagai dana pemeliharaan. Taman yang
dahulu merupakan lahan pribadi, akhirnya dibuka untuk publik tahun 1947. Sang
pemilik berpikir lebih baik menikmati keindahan kaktus bersama orang lain
daripada menikmati sendiri.
Nasib naas menimpa Jaques Majorelle, ia meninggal dunia tahun 1962
akibat kecelakaan mobil saat hendak ke Perancis. Meski begitu, koleksi kaktus
yang tidak ternilai harganya ini tetap abadi. Sejak tahun 1980, Taman Majorelle
dimiliki bersama oleh Yves Saint-Laurent dan Pierre Berge. Dan di taman ini pula,
abu almarhum Yves Saint-Laurent yang meninggal tahun 2008 ditebar.
Nuansa Perancis dan Arab memang teramat kental di negeri maghribi ini.
Namun tidak perlu khawatir bila kita hanya menguasai bahasa Inggris, mengingat
generasi muda di Maroko sudah menguasai bahasa internasional paling banyak
digunakan di seluruh dunia ini. Dan bahasa ini pun tidak ada salahnya diterapkan
di souq atau pasar di Marrakesh saat kita menawar berupa Djellaba
(baca:jelaba), pakaian khas Maroko yang dikenakan baik pria maupun wanita.
Selamat mengeksplorasi Maroko, maghribi yaa maghribi…
wow, great masbro,.. jadi ingin segera melangkahkan kaki ke sana.. ^_^
ReplyDeletetrims infonya, ijin share dikit2 ya..
baru tahu kalau almaghribi adalah maroko
ReplyDelete